Saturday, November 19, 2011

ABSURDITAS TEKNOLOGI


Oleh : Muhammad Muhibbuddin*
Aplikasi teknologi ternyata tidak hanya membawa progresifitas, tetapi juga absurditas. Ini terutama ketika teknologi masuk ke ranah nilai. Teknologi bukan melulu memberikan dampak positif (positive effect) tapi tak jarang juga sering  melahirkan dampak negatif (negative effect). Tak jarang terjadi masyarakat dibuat gaduh oleh negativitas teknologi itu. Skandal pembobolan ATM marak di mana-mana. Para pembobol menggunakan teknologi canggih sebagai modus operandinya. Sekarang, mucul masalah baru lagi tentang dampak aplikasi teknologi. Ini terkait dengan dunia siber atau internet. Anak-anak dan remaja menjadi golongan paling rentan tersasar praktik kejahatan siber, seperti pencabulan (Kompas,8/2/2010).
Teknologi dan kuasa
Absurditas nilai teknologi ini muncul sejak awal. Kata teknologi sendiri (Fritjof Capra: The Hidden Connection, 2003) berasal dari bahasa Yunani technologia, di ambil dari akar kata techne mempunyai makna wacana seni. Ketika istilah tersebut digunakan dalam bahasa Inggris pada abad ke-17, maknanya mengalami penyempitan., yakni terbatas pada seni terapan atau pertukangan. Berdasarkan sejarahnya ini, teknologi berkaitan erat dengan hal-hal yang bersifat praksis-operasional. Dalam konteks ini makna teknologi secara faktual berupa alat-alat dan mesin-mesin otomat yang menggantikan tenaga alam atau manusia.
Namun ketika memasuki abad 20, makna teknologi yang sifatnya praksis-operasional ini mengalami perluasan sedikit, ia tidak sekedar mencakup mesin dan alat-alat otomatis material, tetapi juga mencakup metode atau tehnis yang sifatnya nonmaterial. Teknologi informasi dan komunikasi adalah manifestasi dari perluasan makna teknologi dalam lingkup metodis ini. Atas dasar ini maka sosiolog Manuel Castells mendefinisikan teknologi sebagai kumpulan alat, aturan dan prosedur yang merupakan penerapan pengetahuan ilmiah terhadap suatu pekerjaan tetentu dalam cara yang memunhkinkan pengulangan.
Dari definisi itu, teknologi merupakan konsekuensi dari lahirnya sains. Sains, merujuk pada teorinya Francis Bacon adalah pengetahuan yang digunakan untuk berkuasanya manusia atas alam semesta. Pernyataan Bacon knowledge is power secara implisit adalah proyek ambisius manusia untuk menundukkan alam semesta. Ketika teknologi merupakan konsekuensi lahirnya sains, maka iapun semisi dengan sains, yakni untuk menundukkan alam. Penguasaan alam semesta inilah yang pada titik ekstrimnya melahirkan perbudakan alam oleh manusia. Ketika teknologi difungsikan sebagai alat kuasa manusia atas alam semesta yang berujung pada perbudakan alam itu, maka disinilah kemudian lahir absurditas nilai. Teknologi kemudian tidak lagi mendatangkan kebahagiaan sebagaimana yang dicita-citakan sejak awal, tetapi justru sering melahirkan malapetaka. Alam merasa diperbudak lewat teknologi, sehingga  membrontak terhadap kehidupan manusia.
Paradigam Bacon itulah yang dikritik oleh kedua tokoh filsof madzhab Frankfurt, Horkheimer dan Adorno: alam yang telah diperbudak oleh manusia lewat sains dan teknologi pada gilirannya membrontak dalam wujud Perang dunia dan manusia menjadi budak dan korbannya. Bukankah ini merupakan nilai yang sangat absurd? Bagaimana mungkin, teknologi yang sejak awal didesign sebagai alat untuk meneguhkan kekuasaan manusia atas alam, justru berbalik memperbudak dan menjadikan manusia sebagai korbannya.
Mengarahkannya
Apa yang sekarang ini terjadi, yakni efek negativ internet terhadap para remaja dan anak-anak merupakan bentuk lain dari absurditas teknologi itu. Ini merupakan mata rantai dari pola perkembangan dan kemajuan teknologi secara global. Ternyata lahirnya teknologi informasi sebagai bagian tahap-tahap perkembangan teknologi secara umum, kehidupan manusia berikut nilai-nilainya justru terancam dan berada dalam ruang ketidakamanan.Dan tantangan ini akan terus berkembang dalam bentuknya yang lain  seiring dengan nafas kehidupan di muka bumi.
Salahkah teknologi? Jelas bukan teknologinya yang salah, melainkan manusianya. Sebab, teknologi itu sendiri adalah ciptaan manusia dan yang menggunakannya juga manusia. Baik buruknya teknologi adalah tergantung ada manusianya. Atas dasar inilah, perkembangan teknologi, pada tahap aplikasinya, tidak boleh dibiarkan begitu saja, tetapi harus tetap ada kontrol. Upaya kontrol ini jelas bukan terhadap produk teknologinya, tetapi lebih kepada manusianya yang berperan aktif dalam proses implementasinya. Teknologi sendiri tidak mungkin dibendung. Meskipun dampak yang ditimbulkan oleh IT sangat negativ terhadap anak-anak dan remaja, ia akan tetapi hidup dalam ruang masyarakat, terlepas kita setuju atau tidak.
Sebab, ia sudah kadung hadir di hadapan kita. Mengontrol perkembangan teknologi sendiri, tanpa memberikan kontrol terhadap manusianya tentu saja imposibel. Kontrol terhadap manusianya ini, diwujudkan dengan komitmen manusia sebagai produsen sekaligus konsumen teknologi untuk mengarahkan teknologi ke arah yang lebih positif. Sebagaimana kata Melvin Kranzberg dan Carrol Pursell, bahwa proses tersebut (perkembangan teknologi) tidak dapat dihentikan dan hubungan antar mereka tidak dapat diakhiri; ia hanya dapat dipahami dan diharapkan, yaitu diarahkan menuju cita-cita yang layak tentunya bagi manusia.
Lebih jauh sebagaimana Don Ihde (Technology and the Lifeworld, 1990), teknologi itu sendiri adalah sebuah teks. Kita secara interpretif memahami dunia lewat artifak teknologi sebagai sebuah teks. Artinya, Hermenutika teknik adalah cara tentang bagaimana manusia menginterpretasikan, membaca, dan memahami dunianya lewat artifak teknologi.  Sebagai sebuah teks, teknologi cenderung bebas untuk dimaknai dan ditafsirkan. Persoalan absurditas nilai teknologi ini, sejatinya terletak pada aktifitas interpretative manusia terhadap teknologi itu sendiri. Bagaimana manusia memaknai teknologi itulah pangkal pokok lahirnya efek  teknologi.Dalam menafsirkan teks teknologi itu, sudah tentu manusia sangat ditentukan oleh kapasitas intelektual dan moralitasnya. Latar belakang historis dan kultural seseorang sangat menentukan dalam proses menghasilkan interpretasi tersebut.
 Sekarang, kita sebagai manusia tinggal memilih, akankah kita  memaknai teknologi itu dalam wujud mengarahkannya ke arah yang lebih positif-konstruktif ataukah ke arah yang negative-destruktif?
*Muhammad Muhibbuddin adalah Anggota studi filsafat “ZAT Community”

EKSPLOITASI AIR TANAH


Oleh : Muhammad Muhibbuddin*
Jakarta kini dikabarkan tengah terancam oleh intrusi air laut. Penyebab utamanya adalah adanya eksploitasi air tanah secara berlebihan. Air laut semakin banyak mengisi rongga tanah seiring dengan meningkatnya penyedotan air tanah. Intrusi air laut ini bisa menyebabkan lapuknya tanah dan berkibat pula pada rapuhnya bangunan. Eksploitasi  air tanah di Jakarta memang sudah tergolong melampaui batas. Hal ini mungkin diakibatkan oleh jumlah penduduk Jakarta yang sangat padat.Pengambilan air tanah di Jakarta saat ini mencapai 253,6 juta meter kubik per tahun. Padahal ambang batasnya hanya 186 juta meter kubik pertahun sehingga menjadi defisit sekitar 66,65 juta meter kubik per tahun (Kompas,28/9/2010).
Ancaman umum
Ancaman membahayakan yang terjadi di Jakarta itu pada dasarnya ancaman umum. Sebab, akar masalahnya terpusat pada eksploitasi air tanah.  Sementara eksploitasi air tanah kini cenderung terjadi di mana-mana. Bahaya ini akan berpotensi terjadi di manapun sepanjang eksploitasi air tanah terus terjadi. Ini terutama sangat mengancam di daerah pesisir. Daerah-daerah lain di luar Jakarta mungkin belum terasa. Tapi, seiring dengan perubahan waktu, bertambahnya penduduk dan meningkatnya kebutuhan  industri, tidak menutup kemungkinan hal yang sama juga bakal terjadi.
Tragedi intrusi itu kalau dicermati secara lebih luas merupakan fenomena ketidakseimbangan alam. Alam terbatas dalam menyediakan sumber daya (resource) termasuk air terhadap kehidupan. Ketika pasokan yang terbatas itu dikuras secara ekstrim tanpa ada upaya menggantinya, maka jelas yang terjadi adalah kerusakan (chaos). Ini memang persoalan pelik. Satu sisi sumber daya air yang tersedia di dalam perut bumi jumlahnya terbatas, sementara kebutuhan manusia terhadap air semakin tidak terbatas. Penggunaan air oleh masyarakat semakin sulit dikontrol karena jumlah penduduk semakin membludak. Sulitnya mengontrol penggunaan air ini membuat sulitnya melakukan pembatasan penggunaan air. Akibatnya, air seringkali digunakan seenaknya dan dibuang percuma tanpa mempertimbangkan kebutuhan  sewajarnya.
Eksploitasi air ini semakin parah dengan hadirnya komersialisasi dan kapitalisasi air oleh para kapitalis. Air tidak difungsikan secara wajar untuk kebutuhan manusia, tetapi sudah dikomoditaskan dan dikapitalisasikan untuk mengeruk keuntungan material. Sumber-sumber air menjadi ajang buruan para pemodal. Oleh para cukong kapitalisme air disedot hingga ke yang paling dasar. Isi perut bumi berupa air benar-benar dikuras habis oleh kelompok pemodal ini tanpa memperhitungkan efek buruk yang ditimbulkan. Jadi kalau dihubungkan dengan masalah intrusi air laut, para agen kapitalsime air ini sebenarnya trouble maker utama.
 Sebab, merekalah yang seenaknya menyedot air tanah untuk kepentingan komersialisasi. Kalau air laut itu akhirnya banyak mengisi rongga-rongga tanah yang bolong akibat penyedotan air tanah, para cukong kapitalisme air itulah yang membuat banyak rongga tanah itu. Mereka terus menerus berusaha membolongi dan menjebol bumi untuk disedot dan dikuras isinya. Penjebolan bumi oleh para kaptalis itu bahkan bukan sekedar untuk menyedot air, tetapi juga untuk sumber daya lain semacam minyak.Di sisi lain komersialisasi air ini juga difungsikan untuk kepentingan industri lain untuk melayani kebutuhan negara-negara maju (kapitalis). Negara-negara berkembang sengaja dipaksa untuk mengimpor produk-produk yang proses pembuatannya membutuhkan banyak air.
Secara gamblang itu disinggung oleh Fritjof Capra (The Hidden connection: A science for sustainable living:2003) bahwa negara-negara miskin sebaiknya berkonsentrasi memproduksi beberapa barang khusus untuk diekspor agar memperoleh devisa, dan mengimpor sebagian besar komoditas lain. Penekanan ini telah menyebabkan cepat terkurasnya sumber daya alam yang diperlukan untuk menghasilkan produk ekspor di berbagai negara----pengalihan air bersih dari sawah ke tambak udang; fokus pada tanaman yang butuh banyak air, seperti tebu, yang menyebabkan keringnya sungai; konversi lahan pertanian menjadi perkebunan tanaman niaga; dan migrasi paksa sejumlah besar petani dari tanah mereka. Dari semua itu jelas menunjukkan bahwa penyedotan air tanah secara berlebihan terutama dipicu oleh kepentingan kapitalisme.
Masalah penanganan
Melihat ancaman bahaya intrusi air laut di atas, persoalan selanjutnya adalah bagaimana pola menangani masalah ini. Pembangunan infrastruktur untuk menanggulangi bahaya intrusi tersebut jelas mutlak dibutuhkan seperti pembangunan sumur injeksi dan kolam penampung air. Tetapi pembangunan infrastruktur saja tidak cukup tanpa dibarengi dengan penanganan secara radikal dan terkait terhadap masalah-masalah yang paling fundamental. Persoalan eksploitasi air tanah yang menyebabkan intrusi air laut ke dalam tanah bukan persoalan otonom. Secara luas ini persoalan lingkungan. Sementara persoalan lingkungan saat ini, seperti dikatakan oleh Bryant dan Beilly (2001) tidak bisa dipahami secara terpisah dari konteks politik dan ekonomi di mana masalah itu muncul. Ini artinya persoalan lingkungan termasuk eksploitasi air tanah sangat terkait erat dengan persoaalan ekonomi dan politik yang terjadi saat ini.
Maka, di samping melakukan pembangunan infrastruktur, langkah yang harus dilakukan adalah membatasi secara ketat penyedotan air tanah secara berlebihan dan eksploitatif dalam kontek ekonomi dan politik. Pembatasan ini utamanya ditujukan kepada pihak industri kapitalisme yang memfungsikan air bukan untuk memenuhi kebutuhan tetapi sudah diubah menjadi alat untuk mengeruk kekayaan. Akibat ulah para kapitalis penyedotan air dilakukan secara berlebihan sebagai konsekuensi dari proyek komersialisasi.Akibat komersialisasi dan kapitalisasi ini, penggunaan air  melampaui batas ukuran normal. Ini harus tegas dilakukan secara konkrit. Tanpa ketegasan ini sulit untuk mengatasi masalah persoalan air, termasuk intrusi. Meskipun infrastruktur penanggulangan dibangun, tetapi kalau liberalisasi dan komersialisasi penyedotan air oleh agen kapitalis tetap dibuka lebar, maka bahaya akan tetap mengancam.
 *Muhammad Muhibbuddin adalah anggota studi filsafat ZAT Community Yogyakarta.

ISLAM DAN KESELAMATAN LINGKUNGAN


Oleh :Muhammad Muhibbuddin*
Konferensi internasional Muslim untuk perubahan iklim pernah di gelar di IPB, Bandung pada Sabtu (10/4/2010) . Konferensi para ulama, cendekiawan dan aktifis LSM Muslim dunia selama dua hari di IPB International Convention Centre kota Bogor itu telah menghasilkan beberapa keputusan terkait dengan keselamatan lingkungan.Dalam keputusan akhir peserta konferensi Internasional Muslim I untuk Perubahan iklim itu menyepakati suatu komunike yang memastikan muslim sedunia harus peduli pada perubahan iklim serta aktif memahami, beradaptasi dan mengatasinya. Selain itu peserta sepakat juga untuk mejadikan dan mendukung kota Bogor sebagai sebagai kota hijau lestari. (Kompas, 12/4/2010). Konferensi ini merupakan respon dan pernyataan sikap dari umat Islam dunia terhadap perubahan iklim global yang saat ini tengah mengancam kehidupan.
Islam terhadap lingkungan
Secara normatif  Islam sebenarnya sangat peka dan peduli terhadap persoalan lingkungan. Nilai-nilai Islam, baik yang tersurat maupun yang tersirat, banyak  menyinggung dan membahas tentang perlunya menghargai dan menyelamatkan lingkungan hidup. Dan begitu juga sebaliknya Islam sangat mengecam dan melarang keras terjadinya berbagai kerusakan alam di muka bumi. ..”Dan Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi.Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan “ begitulah firman Allah dalam surat Al-Qashas:77. Jadi jelas bahwa perbuatan merusak (destructiveness) pada dasarnya sangat dimurkai oleh Allah, bukan hanya dalam kontek teologis, tetapi juga kosmologis.
Alam semesta baik laut, darat dan udara pada prinsipnya adalah nikmat besar Allah yang harus dijaga kelestariannya. Pelestarian alam semesta merupakan usaha untuk menjaga keseimbangan hidup dalam tata kosmos. Langit dan bumi dengan segala isinya, termasuk matahari, bintang-bintang, air, udara, tumbuh-tumbuhan dan binatang, merupakan anasir kehidupan dalam komposisi ekosistem yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi secara seimbang di bawah komando hukum alam (sunnatullah). Manusia sebagai khalifah di muka bumi mempunyai kewajiban untuk menjalin keharmonisan dan keserasian hubungan interrelasi dengan kompleksitas unsur kehidupan yang menjadi bagian dari ekosistem itu.
Sebab, dengan terciptanya keserasian dan keharmonisan hubungan dalam sistem antropokosmik itulah keseimbangan kosmologis bisa terjaga. Kebahagian, kesejahteraan dan keselamatan hidup di dunia bisa terwujud sangat tergantung pada keseimbangan kosmologis ini. Ketika  ketidakseimbangan kosmos tidak terjaga, maka yang bakal terjadi adalah chaos. Perbuatan merusak dan mengeksploitasi alam semesta sehingga menimbulkan keruskan di berbagai lini kehidupan---darat, laut dan udara---sama halnya merusak keseimbangan alam yang menimbulkan bencana dan malapetaka.
Lebih jauh, dalam perspektif Islam, alam tidak hanya dimaknai sebagai tempat untuk hidup yang pasif. Lebih dari itu, oleh Islam, alam dipandang sebagai ayat-ayat kebesaran Tuhan. Di balik alam semesta itulah tersembunyi kebenaran abadi. Dalam perspektif Deridean, alam merupakan teks yang menjadi lokus kebenaran. Alam sebagai tanda kebesaran Tuhan merupakan teks besar di mana kebenaran sejati (Tuhan) tersembunyi di baliknya. 
Kalau hendak mengetahui keberadaan kebenaran sejati itu, baca dan singkaplah alam semesta. Karena alam merupakan simbol kehadiranNYA. Lewat alam itulah Allah mengenalkan dirinya kepada manusia, lewat keagungan alam dan hukum-hukumNYA itulah Allah menampakkan dan mentajallikan dirinya. Sebagaimana kata Filsof muslim, Muhammad Iqbal bahwa Allah menampakkan kebesarannya lewat al-Qur’an, akal manusia dan juga alam semesta.Maka dari itu, Islam senantiasa menyuruh umatnya untuk merenungi dan mentafakkuri kejadian alam semesta.
Katakanlah, perintah Allah dalam surat Yunus:101, “perhatikan  apa yang ada di langit dan bumi”. Perintah ini sangat penting. Karena dengan mentafakkuri dan merenungkan secara mendalam terhadap fenomena alam semesta, manusia akan bisa menyingkap rahasia-rahasia di balik alam itu sehingga bisa mengetahui tentang keberadaan dan kebesaran Tuhan. Merusak alam dan lingkungan dalam berbagai bentuknya adalah cermin kebodohan dan kedangkalan manusia dalam memandang alam. Alam hanya dipandang sebagai obyek mati yang bebas dieksploitasi dan diperlakukan sewenang-wenang. Memandang dan memperlakukan alam semacam ini secara teologis maupun etis jelas sangat bertentangan dengan Islam.Apalagi kalau tindakan sewenang-wenang terhadap alam itu hanya karena untuk memenuhi hasrat ekonomi dan politik indifidu maupun kelompok.
Teologi praksis
Nilai-nilai normatif Islam mengenai alam semesta hendaknya menjadi landasan praksis dalam rangka menyelamatkan lingkungan. Dalam hal ini persoalan lingkungan atau alam semesta harus menjadi bagian integral dalam praktik keimanan umat Islam sehari-hari. Nilai pelestarian lingkungan dan alam semesta harus disepadankan dengan nilai ibadah ritual semisal sholat, puasa maupun haji. Ketika umat Islam diwajibkan sholat dan dihukumi dosa apabila meninggalkannya, maka hal ini juga terjadi pada persoalan pelestarian lingkungan.Umat Islam wajib menjaga lingkungan hidup sebagaimana ia wajib menjaga sholat. Perbuatan merusak lingkungan juga mengandung dosa besar sebagaimana ketika meninggalkan sholat atau puasa. Karena secara teologis, merusak lingkungan dan alam semesta sebagai tanda-tanda kebesaran Tuhan sama halnya mengingkari keberadaan dan kebesaranNYA.
Selama ini kewajiban dan kesadaran menjaga lingkungan kurang mendapat apresiasi dari umat Islam. Padahal ini sebenarnya hal pokok yang menyangkut kehidupan di muka bumi. Hal-hal yang berkaitan dengan kelangsungan dan keselamatan hidup di muka bumi seharusnya menjadi agenda utama dalam sistem keagamaan umat Islam. Penyelamatan dan pelestarian lingkungan seharusnya menjadi bagian penting dan prinsipil dalam praktik keagamaan umat Islam, baik secara personal maupun komunal. Kesadaran untuk senantiasa peduli terhadap keselamatan dan kelestarian lingkungan harus menjadi barometer keimanan dan kesalehan umat Islam.Mudah-mudahan dengan hadirnya konferensi Internasional Muslim I untuk perubahan iklim ini bisa menggugah kesadaran umat Islam secara menyeluruh untuk bergerak secara praksis dan berkelanjutan dalam menyelamatkan lingkungan.
*Muhammad Muhibbuddin adalah anggota studi filsafat ZAT Community Yogykarta.

SUFISME DAN MATA AIR ESTETIKA



Oleh : Muhammad Muhibbuddin*
Sufi adalah belantara simbolik. Kehidupan para sufi sarat dengan simbol, metafor,  kode dan tanda. Karena itu, performance sufisme di setiap tingkatannya,perkataan (aqwal) maupun perbuatannya (af’al), tidak bisa dipahami dan ditelan secara mentah-mentah, literal dan apa adanya. Kondisi seorang sufi yang sebenarnya justru berada di balik tanda dan simbol yang dikenakannya. Apabila seseorang memandang sufi dengan logika positivistik, pasti akan tertipu. Sebab, para sufi itu justru banyak yang sengaja menyembunyikan nilai sufistiknya di balik performance fisiknya.
Di sinilah kemudian dunia sufi adalah dunia puisi. Sebagaimana puisi, sufi  berusaha menyingkap realitas sekaligus menyembunyikannya. Setrategi mengungkapkan pesan atau makna dalam sufi terletak pada kepiwaiannya dalam menyembunyikan pesan tersebut. Penalaran yang berlaku dalam sufisme bukanlah penalaran logik, melainkan penalaran simbolik. Penalaran simbolik seperti kata Mudji Sutrisno (2005) adalah menggunakan penalaran untuk mengetahui, memahami kenyataan namun lewat simbol-simbol atau tanda-tanda. Ketika tanda-tanda di susun begitu rupa hingga orang paham maksudnya, disitu susunan tanda menjadi kode.
Mata air  estetika
Aspek simbolik dalam dunia sufi yang bukan hanya terletak pada kata-kata, tetapi juga pada tindakan-tindakan nyata tersebut, tentu secara eksplisit maupun implisit menjadikan dunia sufi sebagai mata air estetika. Sesuatu yang sufistik, pada saat yang sama juga menjadi sesuatu yang estetik. Di dalamnya mengandung banyak unsur keindahan.Sebagai mata air estetika, sufisme dalam memandang sebuah realitas tidak sekedar mengungkai makna, tetapi lebih dari itu adalah bagaimana menyajikan dan mengungkapkan realitas itu melalui cara-cara yang indah. Realitas, makna atau pesan yang diungkapkan oleh seorang sufi tidak sekedar  mengandung kedalaman logika, tetapi juga harus mengandung kedalaman estetika. 
Inilah kemudian bahasa simbolik menjadi bahasa komunikasi paling utama dalam dunia sufi.Lihat saja bagaimana para sufi itu dalam memahami, mengungkapkan dan menyikapi realitas. Sudah barang tentu idiom yang dipakai adalah idiom-idiom simbolik dan metaforis. Dalam memahami Tuhan, manusia dan alam semesta para sufi senantiasa menggunakan term-term simbolik. Dalam mempersepsi Tuhan misalnya, para sufi tidak mengungkapkannya secara literal, tetapi lebih menggunakan ungkapan-ungkapan simbolik seperti cahaya, cinta,keabadian dan sebagainya. Begitu juga manusia, bunga, binatang, kondisi alam dan sejenisnya sering disimbolisasikan dalam ungkapan-ungkapan sufistik.
Lihat juga tokoh sufi Jalaluddin Rumi yang mengungkapkan secara puitis pemandangan musim semi di Konya. Ketika Musim semi muncul di Konya, maka Konya akan dipenuhi oleh banyaknya burung-burung dan bunga-bunga yang bermekaran. Fenomena semacam ini ternyata menginspirasi Rumi untuk memaknainya secara sufistik. Salah satunya adalah yang tergambar dalam pandangan Rumi soal burung merak.  Seorang pakar Rumi, Annemarie Schimmel, (Rumi’s World:The Life and Work Of The Great of Sufi Poet; Boston & London:2001) menulis bahwa karena terpesona dengan keindahan burung merak yang mengagumkan, Rumi membandingkan musim semi dengan seekor merak, yang sangat bangga tengah berjalan-jalan di hadapan sang sahabat yang mencintainya, karena burung merak berpartisipasi dalam kemolekan musim semi.
Burung yang berwarna-warni ini mengembangkan bulu-bulunya yang mengagumkan”seperti hati sang pencinta; menari, ia mengajak ruh manusia menari dan bergabung dengan kompleksnya citra yang besar yang dihubungkan dengan musim semi. Tentu saja, lanjut Schimmel burung merak dengan tepat bisa dituduh sebagai lambang kesombongan, dan demikianlah Matsnawi menuturkan kisah burung merak yang menyesal dan mencabuti bulunya yang berwarna-warni. Namun seorang sufi yang penuh kasih sayang memperingatkannya agar tidak berbuat demikian, karena keindahannya, bagaimanapun juga diciptakan oleh Tuhan, dan bulu-bulunya itu kemudian dijadikan sebagai penunjuk halaman buku di dalam salinan-salinan al-Qur’an. Ini baru satu contoh dari Rumi. Para sufi lainya juga banyak yang berbuat sama yakni memaknai dan memandang berbagai fenomena secara simbolik dan puitis.

Gerakan kebudayaan
Kedekatannya dengan dunia estetik- simbolik tersebut, sufisme sebenarnya bukan sekedar gerakan keagamaan an sich, tetapi juga gerakan kebudayaan. Unsur-unsur dalam sufisme merupakan khasanah budaya luhur yang berakar pada realitas ultime. Estetika sufistik merupakan estetika ultime. Sufisme, dengan dasar estetikanya yang dalam itu, sejatinya sangat efektif  dan inspiratif  sebagai pendorong berkembanganya tradisi kebudayaan yang lebih kompleks, termasuk dalam dunia seni seperti seni sastra, musik, patung dan sejenisnya.
Banyak karya-karya seni seperti sastra, musik dan lukisan yang terinspirasi dari gairah sufisme.  Seperti yang dikatakan oleh Oliver Leaman (Islamic Aesthetics; Terj- Irfan Abubakar, 2005:65)) bahwa salah satu faktor budaya penting dalam banyak lukisan adalah pengaruh sufisme. Ketika sufisme menjadi bagian penting dari kultur Islam, ia mengubah pendekatan terhadap sastra dan seni-seni visual karena sufisme menghasilkan bahasa simbolik yang penuh dengan kerumitan dan kepentingan.
Tapi aspek estetika ini gaungnya terasa masih rendah dalam praktik sufisme sekarang. Saat ini maenstrem sufisme baru mampu bergaung dalam ranah keagamaan dan kurang dalam ranah kebudayaan. Gerakan sufisme baru ditampilkan dalam bentuk ritual-ritual keagamaan atau paling banter sebagai wacana sosial-keagamaan. Tetapi sebagai spirit kebudayaan dan kreatifitas seni sufisme belum digali dan dimanfaatkan secara optimal. Padahal, estetika sufistik yang sangat kaya dan dalam itu sebenarnya mengandung nilai kebudayaan adiluhung.
 Sufisme sebagai mata air estetika adalah khasanah penting tersendiri. Ia  sangat berpotensi menjadi dasar kemajuan peradaban. Sebab acuannya lebih pada nilai-nilai ultime dan universal sehingga tidak terperangkap dalam klaim-klaim teologis dan yuridis seperti mukmin-musyrik atau halal- haram. Maka, sufisme sebagai mata air estetika ini merupakan mutiara berharga yang  harus digali dan dikembangkan bagi kemajuan peradaban.
 *Muhammad Muhibbuddin adalah anggota studi  filsafat ZAT Community Yogyakarta