Oleh: Muhammad
Muhibbuddin*
Paska runtuhnya
ORBA Indonesia bukannya semakin menemukan kedaulatannya. Sebaliknya, kedaulatan
Indonesia paska Orde Baru justru semakin hilang. Ini terjadi khususnya dalam
sektor ekonomi. Barangkali tak banyak orang berpikir bahwa era reformasi
ternyata juga menjadi jalan lapang bagi
penetrasi dan dominasi kepentingan asing di Indonesia dalam sektor ekonomi. Keterbukaan
di era reformasi turut membuka seluas-luasnya pintu bagi para pemodal asing
untuk menguasai aset-aset ekonomi nasional. Akibatnya, satu per satu aset-aset
ekonomi penting nasional jatuh ke tangan asing. Kekuatan ekonomi nasional di sektor migas,
keuangan, perbangkan, ritel dan sebagainya, kini didominasi oleh asing. Era
reformasi, yang oleh kebanyakan rakyat Indonesia dipandang sebagai era
kebebasan dan keterbukaan, secara halus telah membawa dampak negativ (negative impact) bagi kedaulatan
nasional: semakin bebas dan liarnya dominasi asing atas perekonomian Indonesia.
Institusionalisasi
Kepentingan Asing
Ada sesuatu yang
ganjil dalam sistem ekonomi-politik di Indonesia. Libralisasi ekonomi hanya
dipandang sebagai bentuk kebebasan indifidu tanpa mempertimbangkan kepentingan
nasional dan spirit kerakyatan. Hal ini terlihat sekali sikap pemerintah yang
cenderung memberi kebebasan sebesar-besarnya bagi para pemodal asing di
Indonesia melalui undang-undang. Ada sejumlah produk perundang-undangan yang
justru pro-asing. Di antaranya, seperti
dalam Syamsul Hadi dkk (Kudeta
Putih:2012), PP. Nomor 29 Tahun 1999
yang menyatakan pihak asing diperbolehkan menguasai 99% saham perbankan di
Indonesia. Kemudian UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang migas. Dalam UU ini minyak
dan gas di Indonesia dilibralkan dengan cara memberi peluang yang sama terhadap
Pertamina sebagai perusahaan migas nasional dengan perusahaan migas milik
swasta, termasuk milik swasta asing. Bahkan dalam penanaman modal, pemerintah
juga mengeluarkan UU.No.25 Tahun 2007 untuk menjamin perlakuan yang sama antara
investor domestik dengan pemodal asing. Bahkan yang lebih tragis bahwa sekitar
80% undang-undang di Indonesia paska reformasi adalah pro asing (Gatra, No.3, Tahun XVIII, 24-30 Desember
2011)
Dari penjelasan
di atas jelas sekali bahwa Indonesia kini menjerat dirinya sendiri melalui
proses institusionalisasi kepentingan para neolib
asing. Institusi sendiri menurut Douglas C. North (Institutions, Institutional Change and Economic Performance: Cambridge
University Press, 1990) merupakan aturan-aturan main dalam sebuah
masyarakat atau secara formal, kendala-kendala yang dirancang manusia yang dapat
membentuk prilaku mereka dalam interaksi sosial. Dengan demikian, lanjut North,
institusi ini dapat menstrukturkan insentif dalam interaksi manusia, baik dalam
interaksi politik, ekonomi, maupun sosial. Perubahan institusional membentuk
cara masyarakat berkembang dari waktu ke waktu dan karenanya menjadi kunci
dalam memahami perubahan sejarah. Dominasi dan libralisasi kepentingan asing di
dalam negeri bukannya dipandang sebagai ancaman yang harus dibendung, melainkan
justru dipandang sebagai “anugrah” yang dibebaskan untuk mengkolonisasi.
Melalui
institusionalisasi, maka dominasi dan koloniasi asing seolah menjadi legal. Padahal institusi itu
sebenarnya bertentangan dengan konstitusi. Kekuatan asing di Indonesia menjadi
semakin kukuh karena terinstitusikan, meski secara substansial bertentangan
dengan konstitusi. Melalui institusionalisasi kepentingan tersebut, maka kekuatan
asing semakin leluasa melakukan determinasi dan dominasi terhadap ekonomi
nasional. Sehingga rakyat Indonesia dipaksa menjadi penonton di negaranya
sendiri dalam hal pengelolaan ekonomi. Sebaliknya, para pihak asing justru
menjadi subyek dan aktor utamanya. Sebab, melalui pintu institusi inilah, para
pihak asing semakin bisa merebut dan mempengaruhi kekuasaan, khususnya dalam
bidang ekonomi.
Melalui
institusi kepentingan asing itu, kekuasaan (authority)
dan kedaulatan (sovereignty) bangsa
Indonesia, dengan sendirinya, terpreteli. Padahal kedaulatan, sebagaimana kata
Jean Bodin (Six Book on Commonwealth:1606)
merupakan ‘kuasa tertinggi’ (supreme
power), absolut dan abadi atas rakyat dan warga negara dalam sebuah persemakmuran.
Karena itulah, kedaulatan merupakan dasar kekuatan penting bagi eksisnya sebuah
negara sekaligus sangat menentukan bagi efektifnya fungsi negara. Efektif dan
tidaknya sebuah fungsi negara sangat berdasarkan pada eksistensi kedaulatan.
Ketika kedaulatan negara sudah tergadaikan, melalui institusi kepentingan
asing, maka negara bagi rakyat hanya menjadi simbol belaka: tidak memberikan
keadilan dan kesejahteraan apa-apa bagi rakyat.
Kontradiksi
Kelas
Melalui institusi
kepentingan asing tersebut, terlihat bagaimana sebuah negara merupakan alat
bagi kelas tertentu untuk mengukuhkan kepentingannya. Sebagaimana kata Marx dan
Engels bahwa negara tidak lain merupakan wujud perjuangan kelas. Dalam konteks
institusi tersebut, negara telah digunakan oleh pihak kapitalis asing untuk
melindungi kepentingannya. Melalui institusi dan regulasi, para pihak kapitalisme
asing bisa merebut kedaulatan dan kemudian digunakan untuk menguasai aset-aset
nasional. Melalui negara, kelas kapitalisme-borjuis asing bisa balik melakukan
determinasi dan dominasi atas rakyat Indonesia sendiri. Otonomi relatif negara-pun menjadi hilang. Sebab, negara sudah
berada dalam kuasa kapitalisme asing. Fungsi negara kemudian mau tidak mau
lebih diorientasikan untuk membela kepentingan para kapitalisme asing itu
sendiri daripada kepentingan rakyat.
Negara kemudian
nampak tidak kuasa atau hilang. Namun hilangnya negara ini hanya terjadi dalam
konteks rakyat Indonesia. Dalam konteks kapitalisme asing, negara justru
diambil alih kekuasaannya dan kemudian dijadikan sebagai alat untuk menguasai aset-aset
di dalamnya. Negara kemudian menjadi
alat penindas bagi kelas pemodal asing terhadap rakyat. Dari sinilah perlunya
merebut kembali kedaulatan negara oleh rakyat dari tangan asing.
*Muhammad
Muhibbuddin adalah anggota komunitas pecinta filsafat Rainbow Community, Yogyakarta.