Friday, February 22, 2013

LIBRALISASI EKONOMI DAN DOMINASI ASING



Oleh: Muhammad Muhibbuddin*

Paska runtuhnya ORBA Indonesia bukannya semakin menemukan kedaulatannya. Sebaliknya, kedaulatan Indonesia paska Orde Baru justru semakin hilang. Ini terjadi khususnya dalam sektor ekonomi. Barangkali tak banyak orang berpikir bahwa era reformasi ternyata juga menjadi  jalan lapang bagi penetrasi dan dominasi kepentingan asing di Indonesia dalam sektor ekonomi. Keterbukaan di era reformasi turut membuka seluas-luasnya pintu bagi para pemodal asing untuk menguasai aset-aset ekonomi nasional. Akibatnya, satu per satu aset-aset ekonomi penting nasional jatuh ke tangan asing.  Kekuatan ekonomi nasional di sektor migas, keuangan, perbangkan, ritel dan sebagainya, kini didominasi oleh asing. Era reformasi, yang oleh kebanyakan rakyat Indonesia dipandang sebagai era kebebasan dan keterbukaan, secara halus telah membawa dampak negativ (negative impact) bagi kedaulatan nasional: semakin bebas dan liarnya dominasi asing atas perekonomian Indonesia.

Institusionalisasi Kepentingan Asing
Ada sesuatu yang ganjil dalam sistem ekonomi-politik di Indonesia. Libralisasi ekonomi hanya dipandang sebagai bentuk kebebasan indifidu tanpa mempertimbangkan kepentingan nasional dan spirit kerakyatan. Hal ini terlihat sekali sikap pemerintah yang cenderung memberi kebebasan sebesar-besarnya bagi para pemodal asing di Indonesia melalui undang-undang. Ada sejumlah produk perundang-undangan yang justru pro-asing. Di antaranya,  seperti dalam Syamsul Hadi dkk (Kudeta Putih:2012),  PP. Nomor 29 Tahun 1999 yang menyatakan pihak asing diperbolehkan menguasai 99% saham perbankan di Indonesia. Kemudian UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang migas. Dalam UU ini minyak dan gas di Indonesia dilibralkan dengan cara memberi peluang yang sama terhadap Pertamina sebagai perusahaan migas nasional dengan perusahaan migas milik swasta, termasuk milik swasta asing. Bahkan dalam penanaman modal, pemerintah juga mengeluarkan UU.No.25 Tahun 2007 untuk menjamin perlakuan yang sama antara investor domestik dengan pemodal asing. Bahkan yang lebih tragis bahwa sekitar 80% undang-undang di Indonesia paska reformasi adalah pro asing (Gatra, No.3, Tahun XVIII, 24-30 Desember 2011)
Dari penjelasan di atas jelas sekali bahwa Indonesia kini menjerat dirinya sendiri melalui proses institusionalisasi kepentingan para neolib asing. Institusi sendiri menurut Douglas C. North (Institutions, Institutional Change and Economic Performance: Cambridge University Press, 1990) merupakan aturan-aturan main dalam sebuah masyarakat atau secara formal, kendala-kendala yang dirancang manusia yang dapat membentuk prilaku mereka dalam interaksi sosial. Dengan demikian, lanjut North, institusi ini dapat menstrukturkan insentif dalam interaksi manusia, baik dalam interaksi politik, ekonomi, maupun sosial. Perubahan institusional membentuk cara masyarakat berkembang dari waktu ke waktu dan karenanya menjadi kunci dalam memahami perubahan sejarah. Dominasi dan libralisasi kepentingan asing di dalam negeri bukannya dipandang sebagai ancaman yang harus dibendung, melainkan justru dipandang sebagai “anugrah” yang dibebaskan untuk mengkolonisasi.
Melalui institusionalisasi, maka dominasi dan koloniasi asing  seolah menjadi legal. Padahal institusi itu sebenarnya bertentangan dengan konstitusi. Kekuatan asing di Indonesia menjadi semakin kukuh karena terinstitusikan, meski secara substansial bertentangan dengan konstitusi. Melalui institusionalisasi kepentingan tersebut, maka kekuatan asing semakin leluasa melakukan determinasi dan dominasi terhadap ekonomi nasional. Sehingga rakyat Indonesia dipaksa menjadi penonton di negaranya sendiri dalam hal pengelolaan ekonomi. Sebaliknya, para pihak asing justru menjadi subyek dan aktor utamanya. Sebab, melalui pintu institusi inilah, para pihak asing semakin bisa merebut dan mempengaruhi kekuasaan, khususnya dalam bidang ekonomi.
Melalui institusi kepentingan asing itu, kekuasaan (authority) dan kedaulatan (sovereignty) bangsa Indonesia, dengan sendirinya, terpreteli. Padahal kedaulatan, sebagaimana kata Jean Bodin (Six Book on Commonwealth:1606) merupakan ‘kuasa tertinggi’ (supreme power), absolut dan abadi atas rakyat dan warga negara dalam sebuah persemakmuran. Karena itulah, kedaulatan merupakan dasar kekuatan penting bagi eksisnya sebuah negara sekaligus sangat menentukan bagi efektifnya fungsi negara. Efektif dan tidaknya sebuah fungsi negara sangat berdasarkan pada eksistensi kedaulatan. Ketika kedaulatan negara sudah tergadaikan, melalui institusi kepentingan asing, maka negara bagi rakyat hanya menjadi simbol belaka: tidak memberikan keadilan dan kesejahteraan apa-apa bagi rakyat.

Kontradiksi Kelas
Melalui institusi kepentingan asing tersebut, terlihat bagaimana sebuah negara merupakan alat bagi kelas tertentu untuk mengukuhkan kepentingannya. Sebagaimana kata Marx dan Engels bahwa negara tidak lain merupakan wujud perjuangan kelas. Dalam konteks institusi tersebut, negara telah digunakan oleh pihak kapitalis asing untuk melindungi kepentingannya. Melalui institusi dan regulasi, para pihak kapitalisme asing bisa merebut kedaulatan dan kemudian digunakan untuk menguasai aset-aset nasional. Melalui negara, kelas kapitalisme-borjuis asing bisa balik melakukan determinasi dan dominasi atas rakyat Indonesia sendiri.  Otonomi relatif  negara-pun menjadi hilang. Sebab, negara sudah berada dalam kuasa kapitalisme asing. Fungsi negara kemudian mau tidak mau lebih diorientasikan untuk membela kepentingan para kapitalisme asing itu sendiri daripada kepentingan rakyat.
Negara kemudian nampak tidak kuasa atau hilang. Namun hilangnya negara ini hanya terjadi dalam konteks rakyat Indonesia. Dalam konteks kapitalisme asing, negara justru diambil alih kekuasaannya dan kemudian dijadikan sebagai alat untuk menguasai aset-aset di dalamnya.  Negara kemudian menjadi alat penindas bagi kelas pemodal asing terhadap rakyat. Dari sinilah perlunya merebut kembali kedaulatan negara oleh rakyat dari tangan asing.

*Muhammad Muhibbuddin adalah anggota komunitas pecinta filsafat Rainbow Community, Yogyakarta.